Beranda | Artikel
Adab Seorang Qadhi
Minggu, 27 Agustus 2023

ADAB SEORANG QADHI

Disunnahkan bagi Qadhi untuk menjadi seorang yang kuat tapi tidak kasar; agar orang dzolim tidak tamak terhadapnya, seorang lembut tapi tidak lemah; agar tidak ditakuti oleh orang yang benar.

Hendaklah seorang Qadhi itu seorang yang memiliki sifat lemah lembut; sehingga dia tidak marah dari pembicaraan orang yang menentangnya, yang bisa menjadikannya terlalu terburu-buru (dalam menghukumi) tanpa meneliti sebelumnya.

Hendaklah dia itu seorang yang memiliki kasih sayang; sehingga keterburu-buruannya tidak menyebabkan sesuatu yang tidak pantas, dan hendaklah dia seorang cerdas; agar tidak terbodohi oleh sebagian orang yang menentang.

Hendaklah dia seorang yang bijaksana, suci dalam diri serta hartanya dari hal-hal yang diharamkan.

Hendaklah dia seorang yang amanah dan ikhlas dalam beramal karena Allah Ta’ala, dengannya dia mengharap ganjaran serta pahala, dan tidak takut dari celaan orang yang mencela.

Hendaklah dia mengetahui akan hukum-hukum perhakiman sebelum diangkat; agar mudah baginya ketika menjatuhkan hukuman.

Sepatutnya majlis seorang Qadhi harus dihadiri oleh para fuqoha serta ulama, dan dia bermusyawarah bersama mereka tentang permasalahan yang dianggapnya sulit.

Seorang Qadhi berkewajiban untuk menyamakan antara dua orang yang berselisih ketika mereka menemuinya, duduk dihadapan keduanya, memperhatikan serta mendengarkan dari keduanya, serta dalam menghukumi sesuai dengan apa yang telah Allah turunkan.

Diharamkan bagi seorang Qadhi untuk menghukumi sedangkan dia dalam keadaan marah yang sangat, atau dalam keadaan menahan buang hajat, dalam keadaan sangat lapar atau dahaga, dalam keadaan tertekan, bosan, malas ataupun dalam keadaan mengantuk, apabila dia menyelisihi ini dan bertepatan dengan kebenaran, maka itu harus dilaksanakan.

Disunnahkan bagi seorang Qadhi untuk mengangkat seorang sekretaris muslim, mukallaf, adil, yang mana dia akan mencatat untuknya tentang segala kejadian, hukuman ataupun lainnya.

Diharamkan bagi seorang Qadhi ataupun lainnya untuk menerima risywah (sogokan), tidak pula menerima hadiah kecuali dari dia yang memberinya sebelum dirinya diangkat menjadi Qadhi, dan yang utama adalah tidak menerimanya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

 هَدَايَا العُمَّالِ غُلُولٌ. أخرجه أحمد

Hadiah dari para pegawai adalah merupakan sebuah hianat” HR. Ahmad[1].

Hendaklah seorang Qadhi tidak menghukumi atas dasar pengetahuannya; karena yang demikian akan berakibat pada tuduhan terhadap dirinya, bahkan hendaklah dia menghukumi sesuai dengan apa yang dia dengar, dia dibolehkan untuk menghukumi sesuai dengan apa yang dia ketahui, selama hal tersebut tidak berdampak kepada persangkaan serta tuduhan, atau boleh pula ketika hal tersebut telah mutawatir menurutnya dan yakin akan kebenaran beritanya, yaitu ketika pengetahuan tentangnya diketahui olehnya dan juga oleh orang lain.

Keutamaan ishlah diantara orang lain serta berbaik hati terhadap mereka
Dianjurkan bagi seorang Qadhi untuk mendamaikan antara dua orang yang berselisih, menganjurkan mereka untuk saling memaafkan dan saling memahami selama dia belum menjelaskan hukum syari’at pada permasalahan serta menghukumi dengannyanya.

 قال الله تعالى: لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا  [النساء/114] 

Firman Allah Ta’ala: “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar” [An-Nisaa/4: 114]

قال الله تعالى: إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ  [الحجرات/10

Firman Allah Ta’ala: “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat” [Al-Hujuraat/49: 10].

قال الله تعالى: مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ [الفتح/29].

Firman Allah Ta’ala : “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka” [Al-Fath/48: 29].

عن جرير بن عبد الله رضي الله عنه قال: قال رسول الله- صلى الله عليه وسلم-: لا يَرْحَمُ الله مَنْ لا يَرْحَمُ النَّاسَ. متفق عليه

Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu berkata: telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Allah Ta’ala tidak akan merahmati orang yang tidak merahmati sesama manusia” Muttafaq Alaihi[2].

Dianjurkan bagi Qadhi untuk memberi mauidzoh (peringatan) terhadap mereka yang berselisih sebelum menjatuhkan hukuman.

عن أم سلمة رضي الله عنها أن رسول الله- صلى الله عليه وسلم- قال: «إنَّمَا أَنَا بَشَرٌ وَإنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إلَيَّ، وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَأَقْضِي عَلَى نَحْوِ مَا أَسْمَعُ، فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِحَقِّ أَخِيهِ شَيْئاً فَلا يَأْخُذْهُ، فَإنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنَ النَّارِ». متفق عليه

Dari Ummu Salamah Radhiyallahu anha : Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia dan kalian mengadukan perselisihan terhadapku, bisa jadi sebagian dari kalian lebih pandai dalam berhujjah daripada orang lain, padahal aku menghukumi sesuai dengan apa yang aku dengar, barang siapa yang aku hukumi dengan mengambil hak saudaranya, walaupun itu hanya sedikit, hendaklah dia tidak mengambilnya, karena sesungguhnya aku memberikan kepadanya sepotong api neraka” Muttafaq Alaihi[3].

Hukum seorang Qadhi tidak boleh dijatuhkan untuk dirinya sendiri, tidak pula terhadap dia yang tidak diterima persaksian baginya, seperti orang tua dan keturunannya, isteri dan semisalnya.

Apabila terdapat dua orang atau lebih yang saling menghukumi, diantaranya terdapat seorang yang pantas untuk menghukumi, maka hendaklah dialah yang menghukumi diantara keduanya.

Bahayanya berhukum dengan apa-apa yang tidak Allah diturunkan.
Diwajibkan bagi seorang Qadhi untuk menghukumi dengan apa yang telah Allah turunkan, tidak diperbolehkan bagi siapapun untuk menghukumi ditengah-tengah masyarakat dengan selain apa yang telah Allah turunkan, bagaimanapun keadaannya, berhukum dengan apa yang tidak Allah turunkan termasuk dari amalan orang-orang kafir.

Selama syari’at Islam ini mencakup seluruh kebaikan yang berhubungan dengan keadaan umat manusia diseluruh keadaan, maka wajib bagi Qadhi untuk berpaling kepadanya pada setiap kejadian yang datang kepadanya, apapun keadaannya, dengan menghukumi sesuai dengan apa yang telah Allah turunkan, karena agama Allah ini telah sempurna, mencukupi dan mengobati.

قال الله تعالى: وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ  [المائدة/44]

Allah berfirman: “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” [Al-Maaidah/5: 44]

قال الله تعالى: {وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ [المائدة/49]

Allah berfirman: “dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik”  [Al-Maaidah/5: 49].

Seorang Qadhi memiliki tiga sifat, dilihat dari sisi ketetapan dia adalah seorang saksi, dilihat dari sisi menerangkan hukum dia adalah seorang mufti dan dilihat dari sisi menjatuhkan hukuman dia adalah seorang sultan. Perbedaan antara Qadhi dan mufti, kalau Qadhi menerangkan hukum syari’at lalu menjatuhkannya, sedangkan mufti hanya menerangkannya saja.

[Disalin dari مختصر الفقه الإسلامي   (Ringkasan Fiqih Islam Bab :  Kitab Qadha (Peradilan) كتاب القضاء). Penulis Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri  Penerjemah Team Indonesia islamhouse.com : Eko Haryanto Abu Ziyad dan Mohammad Latif Lc. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2012 – 1433]
_______
Footnote
[1] Shohih riwayat Ahmad no (23999), lihat Al-Irwa’ no (2622).
[2] Muttafaq Alaihi, riwayat Bukhori no (7376), lafadz ini darinya dan Muslim no (2319).
[3] Muttafaq Alaihi, riwayat Bukhori no (7169), lafadz ini darinya dan Muslim no (1713).


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/86388-adab-seorang-qadhi.html